JAKARTA - Hampir semua perangkat elektronik menggunakan baterai supaya bisa berfungsi. Setelah baterai menjadi usang, banyak dari kita membuangnya ke tempat sampah, padahal itu berbahaya sekali.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan jika baterai sudah tidak bisa dipakai lagi? Faradhiba sedang membuka laci di rumahnya ketika putranya, Rafa Jafar, tiba-tiba bertanya soal banyaknya baterai dan telefon seluler bekas di dalam laci itu.
Perempuan yang akrab disapa Dhiba ini beralasan, dia kebingungan ke mana membuang sampah elektronik itu. "Suatu hari dia ngeliat saya buka laci. Dia tanya, 'kenapa banyak baterai? kenapa banyak handphone bekas?'," tutur Dhiba kepada BBC News Indonesia.
"Aku berharap sebetulnya bisa diperbaiki, tapi karena butuh jadi beli lagi, akhirnya cuma disimpan di laci, itu yang membuat dia bertanya," ungkapnya kemudian.
Momen itulah yang kemudian menginspirasi Rafa Jafar, akrab disapa RJ, untuk melakukan eksperimen yang berfokus pada isu penggunaan berlebihan alat-alat elektronik.
Dan beberapa tahun kemudian, menginisiasi gerakan peduli sampah elektronik.
Lantas, apa yang membuat RJ tertarik untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya sampah baterai? Alasannya, jelas RJ, karena hampir semua alat elektronik yang digunakan sehari-hari menggunakan baterai supaya bisa berfungsi.
Mulai dari ponsel, laptop, jam, mainan, bahkan mobil kini juga menggunakan baterai. Namun, di sisi lain, bahaya mengancam para penggunanya.
"Baterai itu juga salah satu limbah elektronik yang paling berbahaya, yang paling beracun, kalau misalnya sudah mati atau sudah rusak," ungkap RJ.
Untuk membuktikan bahayanya, RJ melakukan beberapa eksperimen. Salah satunya, menanam baterai bekas di tanah yang ditumbuhi tanaman.
"Aku nanem didalam tanaman, setelah seminggu dibandingkan dengan tanaman yang enggak ditanam (baterai), dan setelah seminggu jelas perbedaannya," katanya.
"Yang nggak ada baterainya tetap hijau, tetap fresh (segar). Tapi yang ditanam baterai menjadi lebih layu," tambahnya.
Namun nyatanya, tak semua orang paham bahaya sampah baterai dan sampah elektronik.
Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, yang saya temui, Roni Kusdianto, contohnya. Meski tahu sampah elektronik berbahaya, dia mengaku kebingungan kemana membuang limbah berbahaya itu.
"Sebenarnya tahu, pernah baca juga di box handphone-nya, bisa meledak, tapi karena terbiasa, buang ke sampah aja," ujar Roni.
Sampah baterai sesungguhnya termasuk sebagai sampah B3 (Bahan Berbahaya & Beracun), karena di dalamnya mengandung berbagai logam berat, seperti merkuri, mangan, timbal, kadmium, nikel dan lithium, yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.
Baterai bekas yang dibuang begitu saja akan mencemari tanah, air tanah, sungai, danau dan akhirnya meracuni air yang dipakai untuk minum, mandi dan mencuci.
"Mereka menganggap ini limbah sampah yang biasa saja yang bisa dicampur dengan (sampah) organik dan anorganik. Padahal, baterai kalau kelamaan kita simpan akan berkarat, kemudian dalam situasi tertentu bisa meleleh, atau ada kandungannya terserap ke tanah," jelasnya.
Baca juga: Ini Bocoran Fungsi S Pen Galaxy Note 9 dan Galaxy Tab S4
"Memang tidak berdampak secara langsung, tapi lama-kelamaan akan memberikan kontaminasi terhadap lingkungan".
"Nah kita ingin agar masyarakat itu mengetahui ada treatment tersendiri untuk baterai. Misalnya dimasukin ke plastik tersendiri aja, memang ini harus mengedukasi karena di luar negeri kan orang sudah terbiasa memilah kan, di kita ini belum," jelas Adji.
Baca juga: Belum Diluncurkan, Video Unboxing Samsung Galaxy Note 9 Beredar