JAKARTA - Longsor bawah laut di sisi barat daya gunung api Anak Krakatau diyakini menjadi penyebab utama tsunami yang mematikan di Selat Sunda hari Sabtu lalu.
Tentu saja semua orang di daerah tersebut tahu tentang Anak Krakatau, gunung api yang terbentuk kurang dari satu abad yang lalu. Namun, letusan dan gemuruh yang ditimbulkannya oleh para ahli dalam negeri, hanya dideskripsikan sebagai aktivitas vulkanik berskala rendah dan semi-kontinu.
Dengan kata lain, kegiatan vulkanik tersebut sudah menjadi bagian latar belakang hidup sehari-hari di sana.
Namun, sudah diketahui secara luas bahwa gunung api mampu menimbulkan gelombang besar. Hal itu terjadi karena pemindahan volume air dalam skala besar.
Gambar satelit pertama yang didapat setelah kejadian Sabtu lalu menunjukkan sisi barat-barat daya gunung api itu ambruk selama erupsi. Hal tersebut menyebabkan jutaan debu bebatuan masuk ke dalam laut, mendorong gelombang ke segala arah.
Profesor Andy Hooper dari Universitas Leeds, Inggris, seorang ahli gunung api, menyatakan keraguannya akan interpretasi itu saat mempelajari gambar-gambar dari radar pesawat Europe's Sentinel-1.
"Selain bertambahnya ukuran kawah, terdapat fitur-fitur gelap baru di sisi barat yang mengindikasikan bayangan lereng curam, mungkin karena ambruknya sisi gunung api dan perubahan pada garis pantai."
Perbandingan antara gambar di hari Sabtu dan gambar Sentinel mengungkapkan hal itu. Namun, anatomi presisi kejadian tidak dapat diketahui sampai tim meninjau langsung area gunung api dan melakukan studi komprehensif.
Studi seperti itu belum bisa dilakukan sekarang karena masih terlalu bahaya. Runtuhan-runtuhan yang terjadi kemudian dapat menyebabkan tsunami.
Sudah sejak lama para peneliti sudah mempelajari Anak Krakatau yang terbentuk di tempat yang sama dengan Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883.
Ada pula sebuah kelompok yang memperagakan tentang apa yang akan terjadi jika sisi barat daya gunung api - sisi yang dianggap paling tidak stabil - itu ambruk.
Gelombang setinggi 10 meter akan menerjang pulau-pulau sekitarnya seperti Sertung, Panjang, dan Rakata dalam waktu kurang dari satu menit, kata tim tersebut.
Oleh karena gelombang itu menyebar di seluruh Selat Sunda, gelombang itu akan terpecah dan menerpa daratan dengan ketinggian satu sampai tiga meter.
Skenario tersebut luar biasa, khususnya terkait dengan waktu air masuk ke darat. Pengukur air pasang di Selat Sunda merekam tingginya permukaan air sekitar setengah jam setelah erupsi terakhir Anak Krakatau, sekitar pukul 9 malam pada hari Sabtu. Dalam model yang sudah dibuat, masuknya air itu terjadi dalam jangka waktu yang beberapa menit lebih lama.
Area ini akan menjadi subyek penelitian yang intens beberapa minggu ke depan.
Tsunami yang disebabkan tanah longsor -atau ambruknya bebatuan- bisa berskala sangat besar. Dalam catatan geologi, hal tersebut merupakan penyebab dari berbagai bencana besar.
Dalam peristiwa tahun 2017 di Greenland, gelombang setinggi 100 meter yang disebabkan longsoran bebatuan memasuki fyord -celah sempit yang jauh masuk ke darat di pantai daerah pegunungan yang curam dan berbatu-batu- di sisi sebelah barat negeri itu.
Lalu Tsunami yang menerpa Pulau Sulawesi pada September lalu, setidaknya beberapa bagiannya, juga diduga jadi berskala raksasa akibat pergerakan sedimen, baik yang memasuki perairan dari arah pantai atau yang menjelajahi lereng bawah laut di Teluk Palu.
Baca juga: Kirim Manusia ke Mars, Astronot Apollo 8: Itu Langkah Bodoh