JAKARTA - Belum lama ini, masyarakat di Indonesia diramaikan dengan berita rencana kenaikan harga masuk Candi Borobudur untuk wisatawan lokal menjadi Rp750 ribu.
Harga tersebut, dinilai sangat mahal apalagi untuk masyarakat biasa. Rencana tarif baru naik ke atas Borobudur ini, diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Langkah kenaikan harga tiket ini, sebagai bentuk menjaga pelestarian candi dan juga untuk mengurangi kapasitas pengunjung yang hanya dibatasi 1.200 per hari.
Guru besar antropologi UGM, Heddy Shri Ahimsa Putra pun angkat suara. Menurutnya untuk perlindungan candi, harga tiket memang perlu dinaikan karena pemeliharaan candi membutuhkan biaya yang sangat mahal. Tetapi, untuk harga Rp750 ribu dinilai cukup mahal.
“Saya kurang suka kalau (harga tiket) naiknya terlalu tinggi. Paling mahal itu untuk masyarakat kita Rp250 ribu itu masih make sense. Rp50 ribu masuk halaman candi kemudian Rp250 ribu naik ke atas candi,” ucap Heddy kepada MNC Portal Indonesia melalui sambungan telepon, Kamis (9/6/2022).
Heddy mengatakan, bila memang alasannya untuk mengurangi kapasitas kunjungan, sebaiknya gunakan sistem waiting list. Sebab yang jadi persoalan sekarang ini adalah kenaikan biaya naik ke Candi Borobudur bukan masuk ke pelatarannya. Sebab dia mengatakan kalau candi perlu dilindungi.
Menurutnya, jika terlalu banyak orang yang naik ke candi, akan berdampak pada keutuhan bangunan candi. Kerusakan pada bangunan candi mencakup penurunan, keausan batu, pengelupasan relief, dan lainnya.
“Harga tiket mungkin boleh dinaikan, terus pakai sistem waiting list dan pesan tiket lewat online aja itu lebih fair menurut saya. Karena dimana-mana kan gitu, kalau ke tempat wisata yang daya tampungnya sedikit ya antri mau nggak mau. Kaya naik Patung Liberty atau naik menara Eiffel, semuanya antri. Kaya gitu lebih baik,” tuturnya.
Selain itu, bisa juga dilakukan dengan membatasi waktu wisatawan saat naik ke atas candi. Hal seperti itu lebih masuk akal untuk mengurangi kepadatan di atas candi.
“Hanya saja memerlukan kerja ekstra lagi dari pihak pengelola, tapi itu lebih fair. Atau misalnya umat Buddha lagi beribadah mungkin harus ada aturan khusus, jumlah pengunjung dibatasi,” tuturnya.